Be an Excellent with Morality! :): PROSPEK INDUSTRI GULA NASIONAL

Social Icons


Pemerintah dalam Perspektif Pengembangan Industri Gula Nasional

Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis tebu merupakan industri yang sangat penting karena komoditi gula termasuk dalam sembilan kebutuhan pokok masyarakat yang permintaannya terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat terlihat dari total konsumsi gula nasional tahun 2000 konsumsi gula diperkirakan sebesar 3,2 juta ton yang dipenuhi dari produksi dalam negeri sebesar 1,69 juta ton dan impor sebesar 1,5 juta ton. Sementara pada tahun 2004 terjadi peningkatan kebutuhan gula menjadi 3,4 juta ton atau naik sekitar 6,25% yang dipenuhi dari produksi dalam negeri sebesar 2,05 juta ton dan impor sebesar 1,348 juta ton (Wayan, 2005). Dari sumber yang sama diperoleh informasi bahwa produksi dalam negeri pada tahun 2000 sebesar 1,69 juta ton yang diperoleh dari pengolahan tebu dengan luas total area sebesar 340.660 ha. Luas area tanaman tebu ini meningkat sejalan dengan peningkatan produksi gula. Tercatat pada tahun 2004 luas areal tanaman tebu meningkat menjadi seluas 344.000 ha. Berdasarkan data tersebut, peningkatan kebutuhan gula nasional tidak dapat tercukupi hanya dengan penambahan luas lahan. Sampai tahun 2004 kebutuhan gula masyarakat perlu dicukupi dengan jalan impor gula yang diperkirakan rata-rata 1,5 juta ton per tahun. Dengan posisinya yang sangat penting, industri gula memerlukan perubahan dan penyesuaian dalam meningkatkan produktivitasnya. Oleh karenanya perlu pemerhatian khusus oleh pemerintah terhadap sektor produksi gula dimulai dari hulu sampai hilir yang berpengaruh terhadap produksi gula.
Kegiatan produksi di hulu merupakan usaha tani primer, yaitu kegiatan budidaya tanaman tebu yang  sangat bergantung pada kondisi dan luas lahan, iklim, bibit dan teknik budidaya. Potensi lahan untuk tanaman tebu pada tahun 2004 menurut Dewan Gula Indonesia DGI (2006), masing-masing di Pulau Jawa seluas 212.660 ha dan luas lahan di luar Pulau Jawa seluas 132.300 ha belum sepenuhnya dapat mendukung pengadaan gula untuk kebutuhan konsumsi nasional, khususnya pemenuhan gula untuk konsumen masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya produktivitas tebu yang diindikasikan rendahnya tingkat rendemen atau kadar gula, yaitu perbandingan dalam persen antara berat gula yang dihasilkan dengan berat batang tebu per ha. Tercatat bahwa rendemen gula hasil pengolahan pabrik di Pulau Jawa sebesar 7,10%, sementara rendemen gula hasil produksi pabrik di luar Pulau Jawa sebesar 8,66%. Rendemen gula ini relatif rendah jika dibandingkan rendemen gula industri nasional pada tahun 1965 yang mencapai 10,53%, atau rendemen gula pada tahun 1975 yang mencapai 10,64% (Ismail, 2001), bahkan Indonesia dapat mencapai rendemen sebesar 13,8% pada tahun 1963, yaitu pada masa jayanya industri gula (www.ipard.com, Maret 2006). Oleh karena itu perlu adanya peningkatan kapasitas produksi dari budidaya tanaman tebu yang dapat dikembangkan melalui pengoptimalan penggunaan lahan pada daerah-daerah yang memiliki kesesuaian dan perilaku tanaman tebu. Secara teoritis peningkatan kapasitas produksi tanaman tebu juga dapat diperoleh dari pemanfaatan varietas unggul dan pemanfaatan saprodi yang lebih efisien dan efektif serta didukung oleh kemampuan teknologi pada proses budidaya (pengolahan tanah-mekanisasi, proses tebang dan pengangkutan menggunakan mesin pertanian). Sementara itu pada akhir kegiatan hilir, yaitu kegiatan produksi di pabrik gula yang terkendala yaitu rendahnya potensi produktivitas akibat kondisi mesin yang sudah berumur.
Pandangan bahwa Indonesia merupakan Negara swasembada gula pada tahun 1930-an dimana produksi gula mencapai 3 juta ton pertahun dan menduduki rangking dua dunia sesudah Cuba terus diupayakan menjadi Indonesia swasembada gula pada tahun 2014. Puncak kejayaan industri gula pada 1930-an berkaitan erat dengan tingginya produktivitas perkebunan tebu dan banyaknya jumlah pabrik gula yang pada saat itu mencapai 179 pabrik pengolahan dengan produksi tiga juta ton per tahun. Gambaran produksi gula dunia tahun 1930 adalah: India 1,0 juta ton, Philipina 0,9 juta ton, Australia 0,9 juta ton, Brazilia 0,7 juta ton,  Thailand dibawah 0,5 juta ton dan China dibawah 0,5 juta ton pertahun. Akan tetapi, pada tahun 2007  mengalami penurunan drastis : Brazilia  29 juta  ton  ( naik 4000 % ),  India 14 juta  ton  ( naik 1300%) , China 11 juta  ton  ( naik 2100 % ),  Australia  5,5 juta  ton   ( naik 500% ),  Philipina 2,0  juta  ton   ( naik 230 % ),  Thailand 5 juta  ton  ( naik 900% ) dan Indonesia 2,4 juta ton  pertahun  ( turun  20% ).  Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 60 pabrik gula yang aktif yaitu 43 pabrik yang dikelola BUMN dan 17 pabrik yang dikelola oleh swasta (Dewan Gula Indonesia/DGI, 2000). Luas areal tebu yang dikelola pada 1999 adalah sekitar 341.057 hektare yang umumnya ada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung dan Sulawesi Selatan. Melihat perkembangan data produksi diatas, tentu saja sangat memprihatinkan jika keadaan tersebut terus berlanjut tanpa adanya penanganan  yang kontinu.
M. Husein Sawit dkk. (2003) dalam tulisannya berjudul penyehatan dan penyelamatan industri gula nasional, menyarankan arah pengembangan industri gula pada program akselerasi peningkatan produksi gula melalui peningkatan efisiensi pabrik dengan cara rehabilitasi atau peningkatan teknologi pabrik, optimalisasi kapasitas giling serta pengurangan jam berhenti giling. Sementara dari konteks pengembangan kelembagaan dianjurkan adanya privatisasi PTPN/BUMN gula menjadi perusahaan terbuka (go public) yang selanjutnya dimungkinkan bagi petani tebu rakyat untuk turut serta dalam kepemilikan saham atas penyebaran modal di perusahaan gula tersebut. Sementara itu, dari sisi budidaya dianjurkan untuk melaksanakan kebijakan on-farm dengan penekanan pada: (i) rehabilitasi tanaman keprasan; (ii) penyediaan bibit bermutu lewat penyelenggaraan kebun bibit; dan (iii) peningkatan mutu budidaya tebu melalui penyediaan dana pengadaan saprodi.
Dalam penelitiannya disebutkan pula bahwa upaya restrukturisasi Industri Gula Nasional (IGN) memerlukan wadah yang berbeda antara pelaku bisnis gula dengan pemerintah. Dalam kasus ini, disarankan dibentuknya dua wadah terpisah, satu merupakan gabungan produsen gula yang terdiri atas asosiasi petani, pabrik gula dan industri pengguna gula. Sementara wadah lainnya khusus untuk pemerintah yang tergabung dalam satu wadah yang beranggotakan lintas departemen: Deptan, Deperindag, Depken, Meneg BUMN. Namun dalam kenyataannya melalui Kepres No. 63 Tahun 2003, tanggal 11 Agustus 2003 telah diputuskan bahwa wadah yang dibentuk adalah satu yaitu Dewan Gula Indonesia (DGI) untuk menampung keinginan pelaku bisnis dan pelaku kebijakan. Selanjutnya untuk mendukung restrukturisasi IGN maka perlu adanya penelitian yang dibawahi oleh kedua wadah tersebut dengan agenda penelitian mencakup dua hal penting yaitu pengkajian perubahan permintaan gula dan penelitian berbagai produk ikatan yang dapat dihasilkan dari pabrik gula.
Rendahnya produksi gula dalam negeri diduga akibat belum mapannya kelembagaan dalam membangun prinsip-prinsip pengembangan gula di dalam negeri, yaitu kebijakan pada unit usaha di hulu yang dapat menopang industri hilir agroindustri gula serta pengendalian gula impor. Beberapa indikator yang dapat dicermati dalam permasalahan gula nasional dapat dilihat dari rata-rata produksi hasil panen tebu rata-rata kurang dari 80 ton/ha atau dengan kisaran rendemen mencapai antara 6%-7%, serta rendahnya produktivitas produksi tebu yang dihasilkan. Di sisi lain bahwa rendahnya produktivitas tersebut akibat dari dukungan infrastruktur yang belum memadai, antara lain ketersediaan varietas unggul dari hasil litbang belum dimanfaatkan secara optimal oleh pihak pengembang (petani), keterbatasan lahan produktif yang sebagian besar diduga pengembangan budidaya tebu pada lahan kering serta rendahnya kinerja kelembagaan pergulaan. Seperti halnya kasus pencapaian swasembada gula (2009) masih terdapat berbagai kendala untuk mencapai target produksi yang diinginkan. Hal ini dapat dilihat dari luas areal tanaman tebu tahun 1999-2004 yang peningkatan luas arealnya masih berada pada angka rata-rata 340ribu ha, selain mengalami pasang surut juga masih didominasi oleh BUMN dimana kemampuan potensi lahan tersebut sebagian besar dikelola oleh petani.
Terkait dengan pengembangan industri gula, Sudi Mardianto dkk. (2005) dalam tulisannya, pengembangan industri gula pada masa akan datang mensyaratkan perlunya kegiatan yang dikemas dalam program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam hal ini program jangka pendek direncanakan berlangsung dalam kurun waktu 3 tahun ditujukan untuk membangun dan memperbaiki kualitas pabrik gula yang berdomisili di Pulau Jawa. Sasaran perbaikannya berupa memperbaiki kinerja pabrik agar dapat menghasilkan produk gula berdaya saing di pasar internasional, khususnya dari segi kualitas dan harga jual. Sedangkan program jangka menengah direncanakan untuk jangka waktu 10 tahun ditujukan untuk pembangunan pabrik di luar Pulau Jawa yang diprioritaskan pada pemanfaatan  dan pengembangan lahan kering serta menarik minat investor ke daerah melalui penyediaan fasilitas dan pemberian insentif baik insentif pajak maupun bea masuk barang modal dan pengembangan yang dananya diperoleh dari prosentase keuntungan pabrik gula maupun kelompok tani.

Industri gula di beberapa daerah Indonesia dikembangkan dengan dukungan pasokan produksi tanaman tebu yang pengelolaannya dapat ditangani oleh badan usaha milik pemerintah (BUMN), swasta maupun petani. Pada prinsipnya pengembangan dan pengelolaan tanaman tebu dikembangkan oleh Perkebunan Besar Naional (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR). PBN dikelola langsung oleh BUMN di bawah kendali PTP Nusantara dan PT Rajawali II. Selain itu, PTP Nusantara dan PT Rajawali II juga melakukan kerjasama dengan kelompok tani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Secara khusus, di Pulau Jawa sebagian besar sumber pasokan bahan baku pabrik gula diperoleh melalui kerjasama dengan APTRI, diperkirakan 70% pasokan bahan baku tebu diperoleh dari APTRI dan sisanya berasal dari tanaman perkebunan tebu yang dikelola oleh PTPN. Sementara pengembangan tanaman tebu di luar Pulau Jawa sebagian besar dikelola oleh pihak industri swasta, 90% kebutuhan pasokan tebu diperoleh dari perkebunan yang dikembangkan oleh perusahaan swasta. Sedangkan 10%  adalah produksi tebu yang dikelola oleh pihak PTPN yang bermitra dengan kelompok tani seperti yang dijumpai di PTPN VII.
Dari 62 pabrik gula yang ada di dalam negeri, sebanyak 51 pabrik gula milik BUMN. Pada dasarnya salah satu penyebab rendahnya produktivitas dan tingkat rendemen bukan akibat kualitas tebu petani yang jelek melainkan kondisi  pabrik gula BUMN di Indonesia yang memprihatinkan. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam memperkuat industri gula di dalam negeri yangmana memungkinkan telah membuat posisi Indonesia berubah dari Negara pengekspor menjadi pengimpor gula. Hal tersebut diungkapkan oleh peneliti ekonomi pertanian yang juga mantan Deputi Pertanian di Bapenas dan Direktur Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian 2000 ‘“ 2003, Agus Pakpahan yang saat ini menjabat Ketua Umum Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (GAPPERINDO).
Agus mengatakan selama ini pemerintah tidak konsisten dalam menerapkan kebijakannya, apakah ingin melindungi industri gula nasional atau memenuhi kebutuhan konsumsi. Terutama saat pemerintah berencana untuk menandatangani letter of intent dengan IMF pada 1998 lalu. Padahal, ada klausul yang menyatakan bahwa pemerintah harus menutup pabrik gula nasional yang tidak efisien. Klausul tersebut memang batal disetujui pemerintah. Tetapi, mentalnya klausul justru karena adanya penolakan dari seluruh pelaku industri gula nasional, bukan karena inisiatif pemerintah untuk melindungi industri gula nasional. "Jika tidak ditolak, maka pemerintah harus menutup seluruh pabrik gula yang ada di Indonesia, karena semuanya tidak ada yang efisien," kata Ekonom Senior Indef di Jakarta baru-baru ini.
Begitu juga dengan Dirut PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Ismed Hasan Putro mengatakan untuk mencapai swasembada gula 2014, kurang lebih memerlukan gula sebanyak 3 jutaan ton untuk gula konsumsi. Produksi Pabrik Gula (PG) BUMN dan swasta saat ini sudah bisa mencapai 2 jutaan ton, sehingga masih membutuhkan sekitar 1 jutaan gula. Selain itu, lanjutnya, kebutuhan lahan tebu mencapai seluas 300.000 sampai 500.000 ha, guna menjamin pasokan bahan baku untuk sejumlah PG, bahkan revitalisasi industri gulapun kini membutuhkan lahan sedikitnya 350.000 hektare, sedangkan aktivitas perluasan lahan tebu yang dilakukan pemerintah hingga dua tahun terakhir ini juga belum terlihat. Berdasarkan  revisi roadmap Kementerian Pertanian menetapkan target swasembada gula pada 2014 turun menjadi 3,1 juta ton dari semula sebesar 5,7 juta ton. Sehingga masih sangat memungkinkan bagi Indonesia untuk terus mengimpor gula.
Perubahan posisi Indonesia dari pengekspor menjadi pengimpor gula, dapat dilihat dari perbedaan jumlah produksi dengan kebutuhan konsumsi gula di dalam negeri.Penurunan produksi gula Indonesia semakin tampak, terutama jika membandingkan produksi gula nasional pada kurun waktu 2008-2011. Produksi gula sebesar 2,6 Juta per tahun pada 2009 masih lebih rendah daripada produksi gula pada 2008 yang mencapai 2,7 juta ton. Begitu juga dengan produksi gula pada 2010 dan 2011, yang jumlahnya terus menurun dan hanya bisa mencapai 2,5 juta ton dan 2,1 juta ton per tahun.
Dengan rendahnya produksi gula nasional mengakibatkan Indonesia dihadapkan pada dua persoalan yakni keharusan memenuhi kebutuhan konsumsi gula dan desakan untuk mencapai swasembada gula yangmana keduanya merupakan target yang harus ditempuh dalam waktu dekat ini. Pada prinsipnya impor menjadi pilihan yang tepat untuk memenuhi konsumsi gula di dalam negeri ketika produktivitas gula nasional rendah. Namun di sisi lain kebijakan impor yang ditetapkan dapat merusak bahkan mematikan industri gula nasional dalam jangka panjang.
Permasalahan yang rumit mengharuskan munculnya langkah-langkah strategis untuk ditempuh dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan tindakan yang seharusnya dilakukan haruslah konsisten dengan pertimbangan tidak merugikan salah satu pihak. Kalau pun harus mengimpor gula, hal tersebut tidak lain untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Sehingga peran serta pemerintah  dalam mencetuskan kebijakan-kebijakan terkait industry gula sangat dibutuhkan. Berbagai kebijakan pemerintah seperti kebijakan tata niaga impor dan program akselerasi peningkatan produktivitas berdampak positif dalam meningkatkan kembali produksi gula nasional. Seperti halnya kasus perkembangan produksi gula pada tahun 1999-2004 yang mengalami penurunan, sehingga muncul kebijakan pemerintah yang dapat memberdayakan masyarakat yakni dengan menetapkan sistem bagi hasil yang terbagi atas dua tipe pengelolaan tebu. Pengelolaan pertama pabrik gula (PG) swasta, kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan (estate). Tipe pengelolaan kedua adalah pengelolaan pabrik gula milik pemerintah (BUMN) yang terutama berlokasi di Jawa, sebagian besar pasokan tebunya diperoleh dari tanaman tebu yang dikelola oleh rakyat. Dengan demikian, pabrik gula di Jawa umumnya melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu. Pabrik gula lebih berkonsentrasi di pengolahan sedangkan petani sebagai pemasok bahan baku tebu, dengan sistem bagi hasil tersebut petani memperoleh sekitar 60% dari produksi gula sedangkan pabrik gula memperoleh 34%. Dengan demikian kebijakan-kebijakan pemerintah  juga dapat diterapkan dalam pengembangan industri gula nasional sehingga potensi Indonesia menuju swasembada gula semakin meningkat.
Penetapan konsolidasi areal di luar Pulau Jawa bukan merupakan faktor menjanjikan akan tercapainya swasembada gula. Permasalahan intinya terletak pada kuantitas rendemen tanaman tebu yang masih berada dalam tingkat minim serta menurunnya kualitas dari fasilitator pabrik gula yang semakin menghambat produktivitas. Upaya revitalisasi dapat dilakukan dengan inovasi yang dimulai dari tahapan rekayasa di lembaga penelitian dan pengembangan baik untuk penelitian budidaya tanaman ataupun rekayasa mesin-mesin produksi. Seperti halnya teori sistem inovasi Laundry (2000), masih memberi suatu tempat sentral terhadap penelitian sebagai sumber pengetahuan untuk pengembangan atau meningkatkan produk dan proses. Pemerintah dalam hal ini PTPN X sebaiknya memberikan kesempatan bagi para ilmuan untuk menganalisis dan menemukan solusi yang tepat guna memperbaiki kapasitas tanaman tebu sebagai proses awal menuju swasembada gula di tahun-tahun mendatang.

Sumber:
- http://www.tempo.co/read/news/2012/07/21/090418470/Swasembada-Gula-Tidak-Butuh-Perluasan-Lahan
- http://www.jurnas.com/halaman/15/2012-05-22/209762
- http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4tebu
- http://www.bisnis.com/articles/swasembada-gula-tak-ada-terobosan-sulit-terwujud-2014
- http://ditjenpdn.kemendag.go.id/index.php/public/information/articles-detail/berita/96
- Saut H. Siahaan dkk. 2006. Studi Penguatan Sistem Inovasi Agro Industri Hula Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian  Pengembangan Iptek. Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar